Wednesday 18 August 2010

Adolf Hitler Pernah Mempunyai Pacar Yahudi?

Bisa dibilang bahwa sejarah kehidupan Adolf Hitler adalah
merupakan salah satu yang paling lengkap karena telah
banyak buku ditulis mengenainya. Meskipun begitu, fase
kehidupannya di masa muda (terutama ketika masih menjadi
ABG di kota Linz dan Wina) tetaplah diselimuti oleh misteri
dan kontroversi. Seperti apa pandangan politiknya masa itu? Siapa saja
temannya? Bagaimana hubungannya dengan ibu tercintanya?
Apakah dia termasuk cowok gaul atau tidak? Di atas semuanya, mungkin, adalah bagaimana hubungan dia
dengan orang-orang Yahudi pada saat itu? Banyak rumor,
teori dan spekulasi bermunculan mengenai masalah ini,
meskipun hanya sedikit saja yang bisa dibuktikan
kebenarannya. Selama berdekade-dekade, para penulis biografi Hitler
mengandalkan sumber tulisan mereka pada memoir Hitler
yang ditulis oleh sahabatnya pada periode 1904 dan 1908,
August Kubizek. Sekarang, setelah hampir 70 tahun buku tersebut ditulis,
akhirnya terbitlah versinya yang berbahasa Inggris. Dan meskipun telah terbit versi sebelumnya yang telah
digunakan oleh partai Nazi sebagai biografi resmi dari Hitler
(tentunya dengan telah melalui pengeditan terlebih dahulu!),
tapi tetap saja buku Kubizek tanpa sensor yang beredar kali
ini benar-benar memberi titik terang pada pemikiran-
pemikiran Hitler pada saat itu. Karena dalam buku ini diulas untuk pertama kalinya obsesi
remaja Hitler terhadap seorang gadis cantik bernama
Stefanie Isak – yang dari nama belakangnya saja sudah ketahuan kalau gadis ini adalah keturunan Yahudi! Dan meskipun biografer Hitler terkemuka Sir Ian Kershaw
sudah menerangkan bahwa perasaan Hitler pada saat itu
hanyalah “ketertarikan remaja biasa” saja, tapi kecenderungan Hitler yang telah secara berani menguntit
gadis ini kemanapun dia pergi, berangan-angan menculiknya
dan bahkan siap untuk bunuh diri barengan memperlihatkan
pada kita bahwa hal ini lebih serius dari sekedar ‘cinta monyet’ belaka! Lebih jauh lagi, kisah August Kubizek mengungkapkan fakta
lain bahwa Hitler sama sekali tidak peduli pada latar
belakang gadis tersebut yang masih keturunan Yahudi. Kubizek sendiri adalah musisi yang, sama seperti Hitler,
berasal dari Linz. Catatan yang dikumpulkannya begitu
berharga bila kita ingin melihat Hitler di masa-masa awal,
karena inilah satu-satunya deskripsi yang kita punyai yang
mengungkapkan secara gamblang kehidupan Hitler di masa
remaja dari pengamatan sahabat terdekatnya. Bahkan kemudian Kubizek mengklaim lebih jauh lagi bahwa hanya
ada satu teman saja dalam hidupnya, dan dia adalah Adolf. Ketika Hitler ditolak masuk Akademi Seni Wina, Kubizek
sendiri melenggang masuk di Vienna Conservatoire untuk
memperdalam musik. Meskipun jelas-jelas lebih berhasil dari
Hitler pada masa itu, tapi pribadi Hitler yang kuat dan
membius tetaplah membuat Kubizek hanyalah menjadi
sahabat yang selalu manut bila di dekatnya. Kubizek mencatat bahwa Hitler tergila-gila dengan Stefanie
selama empat tahun, dari pertama umurnya masih di usia 16.
Dia mengingat betapa pada suatu sore di musim panas tahun
1905 ketika mereka sedang berjalan-jalan di Landstrasse di
Linz: “Adolf menggenggam tanganku dan kemudian bertanya dengan penuh keingintahuan tentang pandanganku terhadap
gadis pirang langsing yang juga sama sedang berjalan
bergandengan tangan dengan ibunya. ‘Kamu harus tahu, aku jatuh cinta kepadanya,’ katanya secara terus terang.” Nama Stefanie Isak sendiri tak pernah terungkap dalam
biografi resmi Hitler zaman Third Reich karena telah
mendapat sensor sebelumnya. Kubizek barkata bahwa
Stefanie memang “seorang gadis yang cantik dengan badan langsing dan tinggi badan lumayan.” “Matanya sangat indah, terang dan ekspresif. Dia berpakaian dengan sepantasnya, dan perhiasan yang melekat di
tubuhnya menunjukkan bahwa dia berasal dari keluarga yang
terpandang dan berkecukupan.” Dan itulah satu-satunya informasi yang diketahui oleh kedua
anak muda ini! Mereka lalu memutuskan untuk berdiri di
dekat jembatan menuju alun-alun utama setiap jam lima
sore di jalan yang biasa dilewati Stefanie setiap hari. “Tidak pantas rasanya bila kita seenaknya memanggil nama Stefanie,” kata Kubizek, “karena tidak ada seorang pun dari kami berdua yang pernah diperkenalkan kepada gadis muda
tersebut. Tatapan mata haruslah menggantikan perkenalan,
dan sejak saat itu Adolf tak pernah melepaskan pandangan
matanya dari Stefanie. Saat itu dia jadi berubah, tidak lagi
menjadi dirinya sendiri.” Bagi seseorang yang selalu mencela dengan berani kebiasaan-kebiasaan ‘resmi’ para kaum borjuis, Hitler menjadi seorang yang lemah kala berhadapan
dengan rasa malunya terhadap wanita. Pada saat itu, Landstrasse menjadi tempat favorit para kaum
muda untuk saling mengadakan janji temu. “Banyak terjadi perkenalan, dan para perwira militer muda adalah yang
paling berpengalaman dalam hal ini,” ingat Kubizek. Hitler akan menjadi sangat marah bila melihat setiap perwira
muda yang mengajak ngobrol Stefanie. Jelas saja Kubizek
sangat bersimpati terhadap kondisi Hitler saat itu. “Hitler yang miskin dan berpenampilan biasa-biasa tentu saja tidak
akan setara bila dibandingkan dengan letnan-letnan muda ini
dengan seragam mereka yang mentereng.” Bukannya melakukan pendekatan terhadap Stefanie atau melatih rasa
kehumorisannya untuk menarik simpati gadis tersebut, Hitler
malah makin dalam tenggelam dalam bayangan yang
diciptakannya sendiri. “Orang-orang bodoh yang angkuh,” begitu biasa Hitler menyebut para saingannya tersebut. Kubizek menulis bahwa kebenciannya terhadap mereka
mendorong sikapnya ketika telah menjadi penguasa yang
tidak pernah mau berkompromi terhadap kelas perwira
militer Jerman secara keseluruhan, dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan militer secara umum. Kenyataan bahwa
Stefanie bergaul dengan para perwira muda yang “mengandalkan seragam semata untuk merayu” ini benar- benar mengganggu pikiran Hitler Untungnya, meskipun Stefanie yang saat itu berusia 17 tahun
sering ngobrol-ngobrol dengan perwira-perwira muda Austria,
tapi dari ekspresinya terlihat bahwa itu bukanlah kegiatan
favoritnya. Gadis ini memang selalu ramah terhadap
siapapun, dan tak pernah benar-benar menyadari bahwa ada
seorang penguntit ‘setia’ yang selalu memperhatikannya setiap waktu. Kubizek berkata, “Stefanie tak pernah benar-benar mengetahui betapa dalam cinta Hitler kepadanya. Dia hanya
menganggap Hitler sebagai seorang yang pemalu, meskipun
di lain pihak begitu gigih dan memujanya dengan setia.” “Ketika gadis itu meresponsnya dengan senyuman tatkala bertatapan dengan Hitler, temanku langsung berubah
gembira, sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya.” “Tapi ketika Stefanie, seperti kepada semua pria lainnya, kemudian membalik mukanya dan lalu bersikap biasa-biasa
saja, Hitler begitu terpukul dan rasa-rasanya saat itu dia siap
untuk menghancurkan dirinya sendiri dan juga dunia.” Tak lama Hitler meminta bantuan Kubizek untuk mencari
tahu segala sesuatu tentang Stefanie. Ternyata ibunya adalah
janda dan mereka tinggal di dekat Urfahr, sementara
saudara laki-lakinya menjadi mahasiswa hukum di Wina. Dari usia 16 sampai 20 tahun, bagi Adolf tak ada lagi wanita
lain di hatinya selain Stefanie. Hitler selalu membandingkan Stefanie dengan penyanyi
opera pujaannya, dan dia selalu meyakinkan dirinya bahwa
Stefanie juga memiliki suara dan bakat musik yang lebih dari
cukup untuk menjadi seorang penyanyi opera. Selain itu, sisi romantis Hitler mengemuka ketika ia menulis
berpuluh puisi untuk gadis pujaannya, dengan judul-judul
seperti “Nyanyian Pujian Untuk Sang Tercinta”. Meskipun saat ini tak ada lagi “jejak” mengenai keberadaan puisi Hitler tersebut, tapi setidaknya Kubizek mengingat
salah satu di antaranya, yang dibacakan langsung oleh Hitler
di hadapannya: “Stefanie, sang perawan dari kaum terhormat, dengan gaun beludru biru hitam yang berombak,
berkendara dengan kudanya melintasi padang rumput
berbunga, rambutnya yang keemasan jatuh menjuntai di
bahu; langit biru cerah di atas; semuanya begitu murni,
mendatangkan kilau kebahagiaan.” Kubizek mengingat betapa wajah Hitler dipenuhi oleh
kegembiraan luar biasa kala dia membaca ulang bait-bait
karyanya. Dahsyatnya, selama empat tahun pemujaannya
terhadap Stefanie, tak pernah sekalipun Hitler
memberanikan dirinya untuk setidaknya mengajak
berkenalan atau bahkan bertukar kata dengan gadis tersebut. Dia berkeras bahwa bila waktunya telah tiba untuk mereka
bersua, tak perlu lagi ada kata yang harus keluar! “Bagi manusia-manusia luar biasa seperti aku dan Stefanie,” kata Hitler kepada Kubizek, “Tak dibutuhkan komunikasi biasa yang datangnya dari mulut; manusia-manusia luar
biasa akan saling mengerti hanya melalui intuisinya masing-
masing.” Lebih-lebih lagi, Hitler meyakinkan dirinya bahwa Stefanie tidak hanya tahu akan semua pikiran dan ide-idenya,
tapi juga mempunyai pemikiran yang sama dan
menanggapinya dengan antusias. Begitu besarnya keyakinan
Hitler sehingga dia yakin bahwa mereka bisa saling
berhubungan melalui telepati! Ketika Kubizek mengutarakan keraguannya kalau Hitler bisa
mengetahui semua apa yang Stefanie sedang pikirkan
(mengingat bahwa untuk ngobrol pun mereka belum pernah),
sang calon diktator langsung marah dan berteriak:
“Sederhana saja, kau tidak mengerti, karena kau tidak pernah tahu apa arti sesungguhnya dari cinta yang tidak
biasa.” Hitler lalu berkata bahwa adalah mungkin untuk
mentransmisikan pikiran-pikirannya ke Stefanie hanya
dengan menatapnya! Hitler juga meyakinkan dirinya bahwa
sikap Stefanie yang selalu ramah dan terbuka pada orang lain
hanya merupakan pengalihan saja dari rasa cinta yang
sebenarnya terhadap Hitler. Tapi tetap saja, sikapnya ini dikalahkan oleh rasa cemburu
yang menggila manakala dilihatnya Stefanie berdekatan atau
ngobrol dengan lelaki lain. Yang tak pernah berani dilakukan Hitler adalah, sederhana
saja: cukup mengenalkan dirinya pada ibu Stefanie dalam
perjalanan yang biasa dilakukannya, lalu meminta izin untuk
mengiringi mereka dan kemudian baru berkenalan dengan
anaknya. Hal tersebut merupakan cara perkenalan yang
sudah biasa terjadi di masa itu. Karena saat itu Hitler hanya berprofesi sebagai seorang
pelukis jalanan yang berpenghasilan tak tentu, Hitler merasa
bahwa bagi ibu Stefanie, pekerjaan sebagai pelukis jauh lebih
penting dibandingkan dengan namanya, dan dia akan
terkesan. Bahkan, Hitler mengkhayal lebih jauh lagi dengan
meyakini bahwa Stefanie tak punya keinginan lain selain menunggu sampai Hitler datang untuk melamarnya! Tapi Hitler juga merasa terganggu ketika mengetahui bahwa
Stefanie mempunyai hobi berdansa, sesuatu yang jauh
berbeda dibandingkan dengan kebiasaannya (saat itu) yang
biasa merokok sambil minum bir di bar. Sambil bercanda,
Kubizek menyarankan agar Hitler mengambil kursus dansa
saja. Tak lama, acara jalan-jalan mereka tidak lagi diisi oleh obrolan-obrolan tentang teater atau jembatan Danube (topik
favorit seniman Austria), melainkan tentang dansa dan seluk-
beluknya! “Bayangkanlah sebuah ballroom yang penuh sesak,” kata Hitler kepada Kubizek, “Dan bayangkan kalau kau tuli. Kau tak dapat mendengar suara musik yang membuat orang-
orang ini bergerak dengan indahnya, kemudian perhatikan
pola gerakan mereka yang tidak mengarah kemana-mana… Bukankah ini adalah sesuatu yang nonsense?” Ketika Kubizek mengutarakan ketidaksetujuannya, Hitler berteriak
kepadanya, “Tidak, tidak, tak akan pernah! Aku tak akan pernah mencoba belajar untuk berdansa! Apakah kau
mengerti? Sekali Stefanie sudah menjadi istriku, dia tak akan
pernah lagi berkeinginan untuk berdansa!” Depresi karena tahu kebiasaan dansa Stefanie ini, membuat
Hitler berpikiran nekad: dia akan menculik Stefanie! “Dia menerangkan rencananya kepadaku bersama dengan
detailnya, termasuk peran yang harus aku lakukan. Aku akan
mengajak ibunya berbincang-bincang sementara Hitler
membawa kabur gadis itu.” Setelah rencana ini dibatalkan karena tidak adanya dana
untuk memulai hidup di ‘pengasingan’ (hahaha!), Hitler begitu stresnya sampai memutuskan untuk bunuh diri saja!
“Dia akan mencoba terjun ke sungai dari jembatan Danube,” kata Kubizek, “Dan semuanya akan berakhir saat itu juga. Tapi Hitler berkeras untuk membawa Stefanie bersamanya
ke alam kubur.” “Sekali lagi, sebuah rencana dibuat lengkap dengan detailnya. Setiap fase dari tragedi yang direncanakan tersebut telah
dirancang dengan teliti oleh Hitler.” Tentu saja, 40 tahun Hitler pun merencanakan hal yang sama
bersama dengan istrinya Eva Braun (yang baru dinikahinya
beberapa jam sebelumnya). Untungnya, ketika rencana
frustasi terhadap Stefanie itu hampir saja dijalankan, mood
Hitler menjadi makin cerah. Bulan Juni 1906 di festival Bunga
Linz, dia dan Kubizek nongkrong di pinggir jalan sempit bernama Schmiedtorstrasse, untuk menjadi penonton dari
festival yang dipenuhi oleh gadis-gadis muda yang lewat
melintas mereka. “Stefanie telah mengisi buket yang biasa dibawanya dengan bunga-bunga liar sederhana dan bukannya bunga mawar
seperti gadis lainnya,” ingat Kubizek. “Mata Adolf langsung bersinar cerah. Stefanie melemparkan pandangan kepadanya
dan tersenyum. Lalu kemudian… aku tak percaya apa yang aku lihat, gadis jelita itu mengambil setangkai bunga dari
buketnya lalu melemparkannya ke Adolf yang hanya bisa
ternganga!” Efek yang terjadi kemudian pada Hitler begitu luar biasa.
“Tak pernah lagi aku melihat sahabatku begitu berbahagia selain saat itu.” “Dia mencintaiku!” Hitler berkata pada Kubizek. “Kau lihat sendiri! Dia cinta padaku!” Satu perbuatan sederhana yang didorong oleh kebaikhatian
telah menyelamatkan Stefanie tanpa disadarinya. Dia
terhindar dari rencana matang yang telah disiapkan Hitler
untuk menculik dan membunuhnya. Sejak saat itu, Hitler
menyimpan bunga pemberian Stefanie di dompetnya selama
bertahun-tahun! Tapi tetap saja Hitler menjadi fans berat Stefanie dan selalu
menguntitnya kemanapun gadis ini pergi. Pada satu saat
Hitler pernah bilang ke Kubizek bahwa Stefanie mempunyai
suara soprano yang indah, suatu fakta yang ia tahu
berdasarkan hasil rantang-runtungnya mengikuti jejak gadis
tersebut! Hitler pun pernah membuat sketsa sebuah rumah bergaya
renaissance yang dia gadang-gadang sebagai rumahnya dan
Stefanie kelak setelah mereka menikah, lengkap dengan
ruang pianonya segala. Dia selalu nongkrong di Schmiedstrasse demi berharap
mendapatkan senyum untuk kedua kalinya. Ketika dia
meninggalkan Linz, Hitler meminta laporan rutin mengenai
Stefanie dari Kubizek yang dikirimkan melalui kartu pos. Hitler selalu berkata bahwa dia pasti akan berbicara dengan
gadis itu besok, tapi “besok tak pernah tiba, dan minggu, bulan serta tahun berlalu tanpa pernah dia mengambil satu
langkah sederhana untuk mencoba peruntungannya dengan
gadis yang telah begitu mengharu-biru hidupnya selama
bertahun-tahun.” Tentu saja, kalau Hitler benar-benar berbicara dengan gadis
tersebut, pastilah dia ‘tersadarkan’ bahwa Stefanie sama saja dengan gadis normal lainnya, dan bukannya seorang bidadari
dari kayangan yang mengisi semua harapan, angan-angan
dan rencananya akan diri seorang wanita di mata sang calon
diktator. Hitler telah begitu dalam tenggelam dalam bayangan yang
diciptakannya sendiri akan gadis ini sehingga, seperti yang
Kubizek rasakan, kemungkinan bahwa impian Hitler akan
segera berantakan begitu dia bicara dengan gadis itu adalah
salah satu pendorong kuat mengapa mereka tidak pernah
saling berbicara. Ternyata kemudian diketahui bahwa meskipun namanya
berbau Yahudi, Stefanie dan keluarganya sendiri bukanlah
datang dari kalangan tersebut. Tapi tentu saja Hitler dan
Kubizek tidak tahu akan hal tersebut saat itu, dan perbedaan
antara Yahudi dan bukan Yahudi tidaklah menjadi masalah
berarti bagi sang calon penguasa Jerman yang kelak dikenal karena “anti-Yahudi”-nya. Apakah Hitler membenci Yahudi hanya sebagai alat dirinya
naik kekuasaan di tengah situasi yang kacau balau, adalah
suatu kemungkinan yang bisa dikedepankan, karena jelas-
jelas secara pribadi dirinya pernah mempunyai pengalaman
jatuh cinta kepada wanita golongan tersebut (setidaknya
seperti yang disangkanya), dan seperti yang kita tahu, hal itu tidak menjadi masalah berarti bagi Hitler muda. Bila kemudian takdir menentukan Stefanie jatuh cinta
kepada Hitler dan mereka menjadi pasangan, tentunya yang
menelan pil sianida di bunker Berlin tahun 1945 bukanlah Eva
Braun lagi! Pada kenyataannya, Stefanie kemudian menikah dengan
seorang perwira Angkatan Darat dan tinggal di Wina setelah
Perang Dunia II. Dia tak pernah menyadari bahwa di masa
mudanya ada seorang pemuda yang begitu tergila-gila,
seorang pemuda yang kelak menjadi salah satu manusia
paling dikenal dalam sejarah…

No comments:

Post a Comment